Pekerja Informal dan Outsourcing Terabaikan
Jakarta, suarapergerakan.id | Pemerintah mengklaim telah meluncurkan kebijakan progresif untuk meningkatkan kesejahteraan buruh pada tahun 2025. Namun, sejumlah kalangan menilai kebijakan tersebut belum menjangkau seluruh segmen pekerja. Buruh informal, pekerja kontrak, dan tenaga outsourcing masih berada di luar jangkauan perlindungan negara.
Kenaikan UMN Tak Dirasa Semua Kalangan
Rata-rata kenaikan Upah Minimum Nasional (UMN) sebesar 6,5% berlaku sejak awal tahun. Kementerian Ketenagakerjaan menyebut keputusan ini sebagai hasil kompromi antara buruh dan pengusaha.
Namun, kenyataan di lapangan berbeda. Banyak pekerja kontrak dan outsourcing tidak menerima UMN karena praktik pengupahan yang tidak sesuai aturan. Hal ini diperparah dengan lemahnya pengawasan ketenagakerjaan di daerah.
“Banyak buruh outsourcing hanya digaji di bawah UMK, tanpa jaminan tetap. UMN hanya berlaku bagi mereka yang statusnya jelas,” ungkap Tini Kartika, buruh pabrik garmen di Semarang.
JKP Tidak Menyentuh Buruh Tanpa Kontrak Tetap
Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) melalui PP Nomor 6 Tahun 2025 memberikan uang tunai bagi korban PHK. Namun, hanya buruh formal dengan kepesertaan aktif BPJS Ketenagakerjaan yang bisa mengaksesnya.
Sementara itu, mayoritas buruh informal dan kontrak jangka pendek sulit memenuhi syarat administrasi JKP.
“Banyak pekerja dipecat tanpa surat PHK. Bagaimana mereka bisa mengklaim JKP?” kata Abdul Malik, aktivis ketenagakerjaan di Surabaya.
BSG Hanya Sekali, Beban Hidup Setiap Hari
Bantuan Subsidi Gaji (BSG) sebesar Rp600 ribu memang meringankan sebagian buruh formal. Namun bantuan ini hanya diberikan sekali, dan tidak menyentuh kelompok buruh yang paling rentan.
Pekerja di sektor pertanian, perikanan, dan industri rumahan mengaku tak pernah tahu atau menerima bantuan semacam itu. Selain terbatas, program ini juga tidak berkelanjutan.
Buruh Mendesak Pemerintah Lakukan Reformasi Struktural
Saat peringatan Hari Buruh Internasional 2025, serikat pekerja menuntut reformasi sistemik di sektor ketenagakerjaan. Mereka meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan yang hanya menyentuh permukaan dan segera memperluas perlindungan ke semua jenis pekerja.
“Negara tak boleh pilih kasih. Seluruh pekerja, baik formal maupun informal, punya hak atas upah layak dan jaminan sosial,” tegas Sunandar, SH, Ketua Umum FSP KEP.
Tanpa Arah Baru, Kesejahteraan Buruh Tetap Ilusi
Kebijakan buruh 2025 memang menunjukkan kemajuan administratif. Tapi selama tidak menyasar ketimpangan struktural dan diskriminasi kerja, jutaan buruh akan tetap menjadi korban sistem. Pemerintah perlu mendengar lebih banyak dari bawah, bukan hanya menghitung angka di atas kertas.