Sidoarjo, Media Suarapergerakan.id | Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur baru-baru ini mengeluarkan fatwa yang cukup kontroversial: menyatakan bahwa fenomena “sound horeg” haram hukumnya. Fatwa ini memicu gelombang perdebatan di berbagai kalangan, terutama para pelaku dan penikmat hiburan rakyat tersebut.
Dalam sebuah acara hiburan malam yang digelar terbuka dengan tata cahaya dan panggung meriah, ratusan warga tampak larut dalam suasana musik sound system berdaya besar yang menjadi ciri khas dari “sound horeg”. Fenomena ini memang sudah menjamur di wilayah Jawa Timur, termasuk daerah-daerah seperti Sidoarjo, Pasuruan, Malang, hingga Jember.
Namun, mengapa MUI Jatim menilai bahwa hiburan ini banyak menimbulkan dampak negatif. Dalam fatwanya, disebutkan bahwa acara-acara “sound horeg” sering kali menimbulkan kemaksiatan, seperti minuman keras, pergaulan bebas, hingga mengganggu ketenangan lingkungan sekitar. Fatwa tersebut bersifat anjuran moral keagamaan, namun tetap berimbas pada keresahan para pelaku usaha hiburan ini.
Tanggapan Warga:
“Jangan Menghakimi dari Medsos Saja”
Menanggapi fatwa tersebut, Andik Firmansyah, seorang warga Krian, Sidoarjo, menyampaikan pandangan berbeda, dia mempertanyakan dasar dari fatwa haram tersebut. Dalam foto yang diambil saat ia menghadiri salah satu acara komunitas sound system di Malang, Andik terlihat berdampingan dengan salah satu penggiat musik sound lokal.

“Saya merasa banyak yang menilai dari luar tanpa melihat langsung. Mereka yang merasa SDM-nya tinggi dan tinggal di kota, hanya melihat potongan video di media sosial lalu langsung menghakimi,” ujar Andik.
Menurutnya, sound horeg justru memiliki sisi positif yang besar, terutama bagi masyarakat desa dan pinggiran kota. Selain sebagai hiburan rakyat yang terjangkau, kegiatan ini membuka lapangan kerja bagi operator sound, vendor lighting, tukang parkir, hingga pedagang kaki lima.
“Kalau masalah moral, itu soal pengawasan dan pendidikan, bukan teknologinya yang disalahkan. Sound system itu cuma alat, tergantung siapa yang memakainya,” tegasnya.
Polemik yang Masih Bergulir
Fenomena ini memperlihatkan adanya kesenjangan pandangan antara otoritas keagamaan dan masyarakat akar rumput. Sebagian kalangan menyebut fatwa ini terlalu normatif dan tidak kontekstual dengan kebutuhan hiburan masyarakat pedesaan.
Sebaliknya, pihak MUI Jatim tetap bersikukuh bahwa fatwa ini bertujuan untuk menjaga moral dan ketenangan lingkungan, serta mendorong terciptanya bentuk hiburan yang lebih sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
Catatan :
Perlu dialog terbuka antara MUI, pemerintah daerah, dan pelaku komunitas sound system agar solusi yang lahir tidak bersifat satu arah. Fenomena “sound horeg” telah menjadi bagian budaya baru di banyak desa, dan perlu pendekatan yang membina, bukan sekadar menghukum.
baca juga : Gubernur Khofifah Tanggapi Fenomena Pengibaran Bendera One Piece Menjelang HUT RI
baca juga berita : Gubernur Jawa Timur melawan Hukum dan Tabrak Aturan Penetapan UMK dan UMSK, Buruh Menangkan Gugatan di PTUN.
Berita Jatim: Pelatihan Paralegal: Meningkatkan Kapasitas Kader FSP KEP Jawa Timur