Abolisi Tom Lembong Picu Polemik, Masyarakat Terbelah: Antara Keadilan dan Ancaman Supremasi Hukum

Sidoarjo, SuaraPergerakan.id | Keputusan Presiden Republik Indonesia yang memberikan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong, mantan pejabat tinggi negara dan pengusaha, telah memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Abolisi yang diberikan terkait kasus dugaan pelanggaran pidana dalam proyek investasi asing tahun 2021, dinilai sebagian pihak sebagai bentuk intervensi politik terhadap proses hukum.

Abolisi merupakan hak prerogatif Presiden yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945. Namun dalam kasus ini, langkah tersebut mengundang kontroversi karena dinilai berpotensi melemahkan supremasi hukum dan prinsip equality before the law.

Tanggapan Pro dan Kontra

Pihak yang mendukung abolisi menilai bahwa Tom Lembong adalah sosok yang berjasa dalam menarik investasi strategis dan memperbaiki citra Indonesia di mata internasional.

“Pak Tom berperan penting dalam diplomasi ekonomi dan memperjuangkan transformasi digital nasional. Abolisi ini merupakan bentuk penghargaan atas kontribusinya,” ujar Dr. Laksmi Santosa, pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia.

Sementara itu, di sisi lain, kelompok masyarakat sipil, aktivis antikorupsi, hingga akademisi memberikan kritik keras.

“Ini adalah kemunduran. Abolisi tanpa proses pengadilan mengirim pesan bahwa pejabat elite bisa lolos dari jerat hukum. Ini bukan hanya soal Tom Lembong, ini soal nasib penegakan hukum di masa depan,” tegas Direktur Eksekutif ICW, Damar Ardiansyah.

Di media sosial, tagar #TolakAbolisiTom menjadi trending selama dua hari berturut-turut. Sebagian besar netizen menyuarakan kekecewaan terhadap keputusan tersebut, yang dinilai mencederai rasa keadilan masyarakat.

Fakta di Balik Abolisi

Tom Lembong sebelumnya sempat diperiksa oleh Kejaksaan Agung terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam proyek pengadaan kawasan investasi digital di Sulawesi Tengah. Namun, sebelum kasus ini naik ke tahap penyidikan, Presiden menerbitkan abolisi pada 25 Juli 2025 dengan dalih menjaga stabilitas ekonomi dan reputasi investasi negara.

Menteri Sekretaris Negara dalam keterangannya menyatakan bahwa “Keputusan abolisi diambil berdasarkan pertimbangan strategis nasional dan telah dikonsultasikan dengan Dewan Pertimbangan Presiden.”

Namun, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mempertanyakan transparansi proses tersebut. “Publik tidak pernah tahu bagaimana pertimbangan hukumnya. Ini preseden buruk,” kata Direktur LBH Jakarta, Anita Pradana.

Dampak Terhadap Supremasi Hukum

Pakar hukum tata negara, Prof. Yusril Wahyudi, mengatakan bahwa abolisi dalam sistem hukum Indonesia memang dimungkinkan, namun penggunaannya harus hati-hati dan berdasar pada prinsip keadilan.

“Kalau abolisi digunakan untuk melindungi elite dari pemeriksaan hukum, maka kredibilitas lembaga penegak hukum runtuh. Ini bisa membuka ruang impunitas,” ujarnya.

Kekhawatiran ini juga dirasakan oleh masyarakat akar rumput. “Kami orang kecil bisa dihukum karena hal sepele, tapi pejabat bisa dibebaskan begitu saja. Ini tidak adil,” kata Wahid, warga Depok, dalam aksi unjuk rasa di depan Istana.

Abolisi terhadap Tom Lembong menjadi peristiwa penting yang mencerminkan tarik-menarik antara kekuasaan eksekutif dan independensi hukum. Polemik ini menunjukkan bahwa publik menuntut transparansi, akuntabilitas, dan perlakuan hukum yang setara bagi semua warga negara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *