Budaya Berutang Masih Mengakar: Tantangan Literasi Keuangan di Tengah Tekanan Ekonomi

Sidoarjo, Media Suarapergerakan.id | Di tengah meningkatnya tekanan ekonomi dan kebutuhan hidup yang semakin kompleks, budaya berutang masih menjadi pilihan utama sebagian besar masyarakat Indonesia ketika menghadapi kesulitan keuangan. Fenomena ini mencerminkan tantangan serius dalam literasi dan manajemen keuangan pribadi di tanah air.

Menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sekitar 46% masyarakat Indonesia masih tergolong rentan secara finansial, artinya mereka kesulitan memenuhi kebutuhan darurat tanpa berutang. Di sisi lain, indeks literasi keuangan baru mencapai 65,43%, sementara inklusi keuangan sudah mencapai 75,02%. Angka ini menunjukkan bahwa banyak masyarakat telah mengenal produk keuangan, namun belum sepenuhnya memahami cara mengelolanya secara sehat.

Budaya Berutang: Antara Kebutuhan dan Kebiasaan

Salah satu faktor yang memperkuat budaya berutang adalah gaya hidup konsumtif dan minimnya perencanaan keuangan. Tak sedikit masyarakat yang menganggap berutang sebagai solusi cepat ketika menghadapi kebutuhan mendesak mulai dari biaya pendidikan, kesehatan, hingga kebutuhan konsumsi harian.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), tercatat lebih dari 28 juta akun aktif pinjaman online (pinjol) pada pertengahan 2024 dengan nilai outstanding mencapai Rp60 triliun. Sementara itu, sektor koperasi simpan pinjam dan lembaga pembiayaan konvensional juga masih menjadi pilihan favorit karena prosesnya relatif mudah dan cepat.

Pilihan Layanan Keuangan yang Umum Digunakan untuk Berutang

  1. Pinjaman online (fintech lending) – cepat dan tanpa jaminan, namun berisiko bunga tinggi.
  2. Koperasi simpan pinjam – berbasis keanggotaan dan memiliki bunga lebih ringan, tetapi terbatas pada anggota.
  3. Kartu kredit dan paylater – populer di kalangan urban, namun sering menjerat pengguna pada cicilan konsumtif.
  4. Pegadaian – pilihan bagi masyarakat yang memiliki aset barang untuk dijaminkan.

Edukasi untuk Mengurangi Ketergantungan pada Utang

Wisnu salah satu pendamping Buruh (WADAS ), pada saat memberikan pendidikan LITBANG PUK SP KEP PT Young Tree Industries, menekankan pentingnya edukasi literasi keuangan sejak dini agar masyarakat tidak selalu bergantung pada utang dalam menghadapi kesulitan ekonomi. Edukasi ini dapat dilakukan melalui:

  • Pelatihan manajemen keuangan keluarga, termasuk cara membuat anggaran dan dana darurat.
  • Kampanye menabung dan investasi mikro, seperti reksa dana pasar uang atau tabungan berjangka.
  • Peningkatan keterampilan ekonomi produktif, seperti usaha rumahan atau kerja sampingan digital.
  • Kolaborasi antara pemerintah, OJK, dan lembaga pendidikan dalam membangun kesadaran finansial masyarakat.

“Budaya berutang bisa berubah jika masyarakat mulai memahami pentingnya perencanaan keuangan dan mampu mencari tambahan penghasilan secara kreatif,” ujar Supangat. Ketua PUK SP KEP PT Young Tree Industries.

Menuju Masyarakat Finansial Mandiri

Mendorong perubahan budaya dari “mudah berutang” menjadi “cakap mengatur uang” bukanlah hal instan. Diperlukan sinergi lintas sektor – pemerintah, lembaga keuangan, serikat pekerja, dan komunitas untuk membangun masyarakat yang mandiri secara finansial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *