Sidoarjo, Media Suarapergerakan.id | – Keputusan pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai kenaikan gaji anggota DPR menjadi Rp3 juta per hari menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan masyarakat. Dengan perhitungan sederhana, seorang anggota DPR kini bisa menerima lebih dari Rp90 juta per bulan, di luar tunjangan dan fasilitas lain yang selama ini sudah diberikan.
Fenomena dan Kasus
Kenaikan gaji DPR ini dianggap janggal di tengah situasi ekonomi nasional yang masih belum stabil. Banyak masyarakat yang mengeluhkan sulitnya harga kebutuhan pokok, tingginya biaya pendidikan, hingga angka pengangguran yang belum tertangani secara maksimal.
Di media sosial, muncul berbagai kritik yang menyebut kebijakan ini tidak peka terhadap kondisi rakyat. Sebagian warganet bahkan membandingkan gaji DPR dengan upah minimum regional (UMR) yang rata-rata masih berkisar Rp3–5 juta per bulan, jauh berbeda dengan Rp3 juta yang diterima DPR per hari.
Beberapa aktivis juga menilai kebijakan ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Mereka menyoroti bahwa produktivitas DPR sering dipertanyakan, termasuk tingkat kehadiran sidang yang kerap rendah.
Tanggapan Masyarakat
Protes Ekonomi:
Banyak buruh dan pekerja menilai kebijakan ini tidak adil. “Kami kerja 8 jam sehari, sebulan hanya dapat Rp4 juta. DPR duduk di kursi, sehari bisa Rp3 juta. Di mana keadilannya?” ujar salah satu buruh pabrik di Sidoarjo.
Kritik Akademisi:
Ekonom Universitas Indonesia menilai kenaikan gaji DPR seharusnya diikuti dengan transparansi kinerja. “Kenaikan gaji boleh saja, tapi harus sebanding dengan pencapaian dan kontribusi nyata. Jika tidak, ini akan memperlebar kesenjangan,” ungkapnya.
Pandangan Netizen:
Di Twitter/X, topik #GajiDPR3JutaSehari menjadi trending. Banyak warganet mengunggah meme sindiran terkait gaya hidup DPR yang dinilai semakin jauh dari realita rakyat kecil.
Kesimpulan
Kebijakan kenaikan gaji DPR hingga Rp3 juta per hari menciptakan polemik besar di masyarakat. Di satu sisi, DPR beralasan bahwa kenaikan ini untuk menunjang profesionalitas dan mencegah praktik korupsi. Namun di sisi lain, publik menilai langkah ini tidak tepat waktu, mengingat banyak rakyat masih berjuang menghadapi himpitan ekonomi.