Sidoarjo, Media Suarapergerakan.id | Kementerian Komunikasi dan Informatika Digital (Komdigi) tengah merumuskan kebijakan yang berpotensi mengubah cara masyarakat Indonesia menggunakan layanan komunikasi digital. Salah satu wacana yang sedang dikaji adalah pembatasan penggunaan layanan panggilan suara dan video seperti WhatsApp Call, Telegram, hingga Google Meet, kecuali jika pengguna membeli paket internet premium.
Langkah ini dilatarbelakangi oleh ketimpangan yang dirasakan antara operator jaringan lokal dan penyedia layanan Over The Top (OTT) seperti WhatsApp, Telegram, Netflix, dan YouTube. Pemerintah menilai bahwa OTT mendapatkan keuntungan besar dari pengguna Indonesia, namun tidak memberikan kontribusi setara terhadap pembangunan infrastruktur jaringan yang dibiayai oleh operator dalam negeri.
“Ini soal keadilan ekosistem digital. Selama ini operator lokal yang bangun infrastruktur sampai ke pelosok, tapi OTT datang hanya bawa layanan, tidak bayar apa pun,” ujar salah satu pejabat Komdigi yang enggan disebutkan namanya. Pemerintah mengusulkan tiga skema utama untuk mengatur ulang ekosistem digital ini:
- Internet Premium untuk Layanan OTTMasyarakat akan diarahkan untuk membeli paket internet premium khusus agar bisa menggunakan layanan seperti WhatsApp Call, Google Meet, dan sejenisnya. Artinya, tidak semua paket data biasa akan otomatis mengakses layanan-layanan tersebut.
- QoS (Quality of Service) untuk OTTLayanan OTT akan diminta untuk meningkatkan kualitas layanan mereka di Indonesia. Caranya dengan bekerja sama secara teknis dengan operator lokal guna memastikan kestabilan dan kelancaran akses. Ini juga membuka ruang kerja sama teknologis yang lebih adil.
- Kontribusi Finansial dari OTTPemerintah akan mendorong skema kontribusi langsung dari perusahaan OTT kepada negara atau operator jaringan lokal. Ini dianggap sebagai bentuk kompensasi atas penggunaan infrastruktur yang dibangun oleh pihak lokal tanpa imbal balik selama ini.
Pihak Komdigi menekankan bahwa ketiga skema tersebut masih dalam tahap kajian dan belum akan langsung diterapkan. Namun, wacana ini sudah menimbulkan diskusi hangat di tengah masyarakat dan komunitas digital. “Kita tidak ingin mematikan inovasi digital, tetapi perlu keadilan bagi semua pihak yang berkontribusi dalam membangun ekosistem digital nasional,” ujar masyarakat tersebut.
Beberapa kelompok masyarakat sipil dan pemerhati internet bebas menyuarakan kekhawatiran mereka. “Kalau akses jadi premium, khawatirnya terjadi diskriminasi digital. Hanya yang mampu bayar yang bisa tetap terhubung,” ujar Winda Pramesti, peneliti di bidang kebijakan teknologi dan komunikasi. Masyarakat diimbau untuk mengikuti perkembangan kebijakan ini dengan kritis dan aktif menyuarakan pandangan mereka, karena keputusan yang diambil akan berdampak luas pada akses komunikasi dan kebebasan digital di Indonesia.