Negara Abai Terhadap Isu Pengangguran, Ramai Seniman Digital Unggah Karikatur Satir

Sidoarjo, Media suarapergerakan.id | 29 Juli 2025 — Sebuah ilustrasi satir karya seniman digital @renzu_5 kembali menggugah kesadaran publik tentang ketimpangan kebijakan negara dalam menangani isu pengangguran dan ketenagakerjaan di Indonesia, yang menggambarkan bagaimana negara cepat bertindak terhadap aset mati seperti rekening dan tanah, tetapi lambat bahkan abai terhadap nasib jutaan rakyat yang menganggur.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa per Februari 2025, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,8 juta orang, dengan angka tertinggi berada di kelompok usia produktif 15–24 tahun. Sebagian besar dari mereka adalah lulusan SMA dan SMK, dengan proporsi signifikan berasal dari sektor informal yang terkena dampak PHK massal pasca-pandemi dan gelombang digitalisasi yang mengurangi kebutuhan tenaga kerja manusia.

Di sisi lain, kebijakan pemerintah yang justru fokus pada efisiensi fiskal melalui pemblokiran rekening pasif (3 bulan tidak aktif) dan penyitaan tanah yang dianggap idle selama 2 tahun menimbulkan keresahan di masyarakat. Kebijakan ini dinilai timpang karena tidak diiringi dengan dukungan nyata untuk penciptaan lapangan kerja yang layak.

Menurut Dr. Taufik Nurhadi, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Nasional, ilustrasi ini mencerminkan kritik terhadap state bias yakni kecenderungan negara untuk lebih mengakomodasi kepentingan pasar dan modal dibanding kesejahteraan rakyat pekerja.

“Negara bertindak cepat ketika aset-aset tidak bergerak, tapi membiarkan manusia, yang jelas-jelas punya potensi dan hak hidup, dalam keterlantaran. Ini bentuk kegagalan struktural dalam kebijakan ketenagakerjaan,” ujarnya.

Seruan Serikat Buruh

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendesak pemerintah agar tidak hanya fokus pada stabilitas ekonomi makro, tetapi juga memastikan perlindungan sosial bagi masyarakat usia kerja. KSPI menilai bahwa UU Cipta Kerja justru memperparah kondisi ketenagakerjaan karena melemahkan perlindungan buruh, memperluas sistem kerja kontrak, dan memperburuk nasib pekerja outsourching.

Dari gambar karikatur satir tersebut, pesan yang ingin disampaikan sangat jelas:

Negara terlalu reaktif terhadap aset, namun pasif terhadap nasib rakyat.

Pengangguran bukan semata kesalahan individu, tapi kegagalan sistemik.

Perlu kebijakan afirmatif untuk membuka lapangan kerja yang berkualitas dan berkelanjutan.

Rakyat tidak hanya butuh janji politik, tetapi tindakan nyata: akses pendidikan vokasi, peningkatan kompetensi, investasi industri padat karya, dan perlindungan terhadap pekerja informal.

Ilustrasi ini bukan sekadar gambar. Ia adalah cermin luka sosial, suara bisu dari jutaan masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *