Jakarta . Media suarapergerakan.id | Ahmad Sahroni, anggota DPR RI dari Partai NasDem, resmi dicopot dari jabatannya sebagai Wakil Ketua Komisi III dan dialihkan ke Komisi I, menyusul pernyataannya yang menyebut pendemo pembubaran DPR sebagai “mental orang tertolol sedunia.” Langkah ini dinilai tak cukup meredam kemarahan publik, yang kemudian memicu kerusuhan di kediamannya.
Kronologi yang Memanas
22 Agustus 2025: Sahroni melontarkan komentar kontroversial saat wawancara di Polda Sumatera Utara.
“Orang yang minta DPR bubar itu mentalnya orang tertolol sedunia,” ujar Sahroni dalam wawancara yang kemudian viral di media sosial.
29 Agustus 2025: NasDem mencopot Sahroni dari posisi Wakil Ketua Komisi III.
Ketua DPP NasDem, Willy Aditya, menegaskan:
“Ini bagian dari rotasi dan evaluasi. Kami mendengar suara publik, dan partai mengambil sikap tegas.”
30 Agustus 2025: Ratusan massa mengepung rumah Sahroni di Tanjung Priok. Aksi yang awalnya damai berubah menjadi kerusuhan: pagar rumah dirusak, CCTV dihancurkan, bahkan kendaraan mewah ikut dijarah.
Salah satu warga yang ikut aksi mengatakan:
“Kami sakit hati dengan kata-kata itu. DPR seharusnya wakil rakyat, bukan menghina rakyat.”
Seorang saksi mata menambahkan:
“Polisi datang terlambat. Kalau lebih cepat, kerusuhan mungkin bisa dicegah.”
Dampak dan Respons
Pasca-kerusuhan, Partai NasDem mengumumkan pencopotan Sahroni (dan Nafa Urbach) dari keanggotaan DPR efektif 1 September 2025.
Sekjen NasDem, Hermawi Taslim, mengatakan:
“Keputusan ini berat, tetapi harus diambil demi menjaga marwah partai dan mendengar aspirasi masyarakat.”
Sementara itu, Kapolres Jakarta Utara menegaskan pihaknya tengah memburu pelaku perusakan:
“Kami sudah mengantongi identitas beberapa provokator. Proses hukum tetap berjalan.”
Pandangan Publik
Gelombang unjuk rasa terkait kasus ini menjadi bagian dari protes nasional Agustus 2025, yang menuntut reformasi mendalam terhadap DPR, Polri, dan sistem politik.
Seorang aktivis buruh di Jakarta mengatakan:
“Ini bukan sekadar soal Sahroni, tapi simbol kekecewaan rakyat terhadap DPR yang jauh dari aspirasi publik.”